Kalau membicarakan sesuatu yang horor, bisa memunculkan kengerian di satu sisi. Menakutkan, menyeramkan, membuat bulu kuduk merinding. Entah yang disajikan dalam bentuk visualisasi (film dan drama) ataupun bacaan seperti novel, cerpen dan cerbung.
Hanya saja, mungkinkah ada yang namanya horor berbalut sastra atau sastra bergenre horor? Masa iya, sastra yang ada dalam benak saya bernuansa kalem, sendu, dan penuh kobaran semangat, tetapi kok bisa ada juga yang horor?
Atas dasar itulah, saya tertarik untuk gali lebih dalam tentang sastra horor ini, di acara Forum Diskusi Meja Panjang dengan tema Sastra Horor, Jumat 26 Juli 2024 lalu. Siapa tahu nih, pas kebetulan ada pembaca blog rejekingalir.com yang sedang mengalami kegalauan karena malas dan takut untuk hal-hal yang berbau horor, hehe.
Bertempat di Aula PDS HB Jassin, Lantai 4 Gedung Ali Sadikin, Taman Ismail Mazuki, Jakarta Pusat, acara ini diusung oleh Literasi Kompasiana (LitKom) dan Dapur Sastra Jakarta (DSJ), yang kolaborasi dengan Dinas Perpustakaan, Kearsipan Pemprov DKI Jakarta, dan PDS HB Jassin. Tampak dari kursi-kursi peserta, yang full people. Begitupun wajah-wajah para peserta dari berbagai lintas generasi dan profesi.
Apa Itu Sastra Horor?
Dalam makalah Diskusi Meja Panjang – Sastra Horor, halaman 56, diterangkan bahwa sastra horor adalah karya tulis maupun lisan yang mengisahkan tentang budaya atau cerminan budaya dari suatu masyarakat yang mengandung kepercayaan, pemahaman, dan aktivitas yang melibatkan unsur gaib, bersifat mistis atau misteri.
Cerminan budaya masyarakat yang dimaksud di atas, merupakan penggambaran kondisi sosial yang terjadi di suatu tempat. Makin luas tempatnya, maka memungkinkan pula jenis-jenis permistisan pun bervariasi.
“Sastra horor adalah karya fiksi yang basisnya budaya lokal.” Terang Pak Yon Bayu, Pembicara Utama Forum Diskusi Meja Panjang.
Mengapa Horor Terkesan Tidak Berbobot?
“Anggapan bahwa horor itu pembodohan adalah dari orang lain. Orang lain menganggap horor itu sebagai pembodohan.” Tambah Pak Yon Bayu.
Asumsi saya, pembodohan dari anggapan yang disampaikan oleh penulis novel Kelir tersebut, bisa memungkinkan karena:
1. Jalan Cerita yang Monoton
Saat lagi booming satu judul film tentang suster ngesot, tak lama kemudian muncul lagi versi lain tetapi masih berkaitan dengan suster ngesot.
Contoh lain, kalau pembaca blog rejekingalir.com penggemar film horor atau fans dari mendiang artis Suzanna, maka akan mengenal karakter Calon Arang, dari film Ratu Sakti Calon Arang. Film yang rilis pada tahun 1985 tersebut (hayooo.. udah pada lahir belum, rejekingalir.com aja lagi entah di mana, heheh), ada mengenalkan tentang ilmu mistis seperti santet.
Hingga kini pun, film-film horor Indonesia pun masih mengusung tentang santet dengan berbagai versi, beberapa diantaranya adalah Teluh (tahun 2018), Qodrat (tahun 2022), dan Sewu Dino (tahun 2023). Sedangkan dalam novel horor beberapa contoh kisah menyeramkan adalah Kisah Tanah Jawa: Tingkungan Maut (2020), Winggit (2020), Danur (2011), dan Surat dari Kematian (2018).
Laris manisnya tentang tema yang diangkat itulah, yang menjadikan karya dengan tema horor terkesan monoton, akibat memanfaatkan hal yang sedang booming.
Baca Juga: Teknik Mudah Belajar dan Menyenangi Karya Sastra
2. Lebih Menonjolkan Sensualitas
“Horor dianggap sebagai eksploitasi terhadap hal-hal yang tidak masuk akal atau mengada-ada.” Ujar Pak Yon Bayu lebih lanjut.
Tidak berbobotnya tema bergenre horor adalah mengeksploitasi sensualitas. Di sini kerap aneh bin ajaib nya adalah, malah terdapatnya pemeran atau karakter wanita berpakaian tidak lengkap, ketimbang si setan yang merupakan musuh yang harus dibasmi malah berpakaian lebih sopan dan tertutup. Beberapa contohnya adalah karakter Ibu di film Pengabdi Setan (tahun 2017), Roro Ayu Minati di film Malam Jumat Kliwon (tahun 1986), dan beragam film Pocong.
Padahal tanpa eksploitasi sensual kalau jalan ceritanya bagus, didukung dengan akting para pemain yang apik dan sinematografi yang menawan, maka akan jadi karya yang menakjubkan, bukan?
Empat Manfaat Karya Sastra Horor
Yups, sastra horor bisa memiliki manfaat tergantung dari bagaimana meramunya. Dalam kesempatan yang sama, Bu Ni Made Sri Andini, sebagai pendamping di acara Forum Diskusi Meja Panjang menerangkan manfaat karya sastra horor, yang telah saya rangkum sebagai berikut:
1. Kewaspadaan Diri Lebih Meningkat
Umumnya cerita horor dikembangkan dalam nuansa yang gelap dan pada malam hari. Hal ini bisa bermanfaat untuk diri kita, terlebih untuk yang beraktivitas (dapat shift) pada malam hari atau pulang kerja malam agar lebih waspada terhadap kondisi sekitar.
2. Berpikir Logis dan Kritis
Karya sastra horor sama dengan karya sastra pada umumnya, yaitu karya fiksi dari si pengarang ceritanya. Maka ketika kita sebagai pembaca atau penonton sedang menikmati karya tersebut, hendaklah berpikir logis dan kritis. Tidak langsung percaya pada fenomena yang menyeramkan.
3. Menumbuhkan Ketahanan dan Keberanian Diri
“Takut, gak mau nonton film horor atau baca novel horor kalau pas malam”.
Mungkin ada yang mengalami atau punya pemikiran, seperti pernyataan di atas ketika ada film atau novel horor yang baru rilis atau dapat rekomendasi. Takut terbawa suasana, terlebih semisal ada spot atau latar tempat yang dibicarakan pas kebetulan akan lewat di situ atau serupa dengan itu. Tak disangka, ternyata bisa bermanfaat dalam menumbuhkan ketahanan mental dan keberanian pada diri.
Diterangkan oleh Bu Ni Made Sri Andini bahwa dalam kisah “Beli Jagung Depan Kuburan” yang ditulis olehnya, mengangkat tokoh utama yang berani melawan ketakutan dalam dirinya untuk berada di depan kuburan, saat malam hari. Kisah tersebut, dapat menginspirasi para pembaca, agar berani menghadapi rasa takutnya dalam dunia nyata.
Baca juga: Sastra tentang Agustus untuk Kita
4. Sosialisasi tentang Sejarah dan Budaya
Lebih lanjut Bu Ni Made Sri Andini mencontohkan bahwa dalam kisah “Burung Perkutut dan Supir Taksi” yang ditulis olehnya, menggunakan cerita horor guna mengeksplorasi sejarah dan mitos lokal. Pembaca jadi lebih mengenal budaya Jawa, tentang burung perkutut yang menjadi simbol kesejahteraan dan kematang seorang pria Jawa.
“Sastra horor adalah karya yang berbasis budaya yang penuh nilai-nilai.” Terang Pak Yon Bayu Wahyono.
Pastinya kita ketahui, Indonesia yang memiliki beragam kebudayaan, maka akan bervariasi pula budaya dan mitos lokal yang ada. Hal ini menjadi keanekaragaman sekaligus terdapat pengajaran moral, agar ke mana pun kita bepergian adab dan tata krama diperlukan.
Cara Menghilangkan Stigma Karya Sastra Horor
Dari diskusi yang berlangsung, langsung timbul pertanyaan, Apakah stigma terhadap karya sastra horor bisa diubah?
“Semua pihak berperan untuk mengkreasikan image/cerita lebih baik.” Jelas Bu Ni Made Sri Andini.
Terlebih Pak Sunu Wasono, pensiunan dosen Ilmu Budaya Universitas Indonesia menambahkan sebagai pembicara pembanding di acara Forum Diskusi Meja Panjang, bahwa karya sastra horor punya hak untuk berkembang dan tidak bisa dilarang.
Oleh karena itu, semua pihak termasuk didalamnya adalah penulis naskah/skenario, sutradara, para aktris/aktor, produser, editor, penerbit buku yang memiliki andil dalam menyajikan/menerbitkan karya sastra horor yang bagus dan bermanfaat.
Begitu juga dengan penonton maupun pembaca sastra horor, perlu untuk lebih berpikir kritis terhadap apa yang dibaca dan ditonton. Tidak perlu, istilahnya sampai ‘baper’ alias terbawa perasaan ketika menonton maupun membaca karya sastra horor. Sebab, pada dasarnya, sastra horor juga memiliki tempat yang sama seperti romance, epik, thriller, komedi dan genre sastra lainnya.
Penutup
Kisah yang berbau horor memang melekat nuansa mistisnya, karena masih ada hal misteri di dalamnya yang belum terpecahkan oleh akal manusia. Namun demikian, ketika menjadi sebuah karya sastra horor, seharusnya di satu sisi memunculkan pencerahan, keindahan akan seninya, dan hal positif setelahnya. Serta di sisi lain menjadi diri lebih berani, meningkatkan kewaspadaan diri, dan mampu berpikir kritis atas apa yang dilihat dan ditonton. Jadi bagaimana, apakah pembaca blog rejekingalir.com sudah lebih berani dan berpikir kritis terhadap karya sastra horor?
36 komentar
Aku engga suka nonton horor sih, takut kepikiran, ntar engga berani lihat cermin pulak...hehe...
Baru aja lihat caption di IG seseorang bapak yg malah ngajak nonton horor anak-anaknya. Katanya, biar berani dan berpikir kritis.
Iya ya, film horor di negara kita, kenapa mesti menonjolkan sensualitas ya, bukan malah memperkuat di bagian horornya.
Saya pingin banget bisa bikin tulisan horor
Karena saya punya masalah gak percaya mistis
Akal sehat saya terlalu dominan
Bener, kita seringkali merasa bahwa horor itu pembodohan. Tapi aku suka banget insight-nya dari tulisan ka Fenn bahwa ada kewaspadaan yang kita ambil ketika menikmati karya sastra atau tontonan horor.
Sampe saat ini genre berbalut horor ataupun misteri masih menjadi minat disebagian masyarakat. Acarnya menarik bisa dapet insight positif lebih mendalam perihal sastra horor
Belum lagi adegan sadisnya bikin trauma.
Tapi nggak dipungkiri sih, horor kebanyakan mengenalkan seni dan budaya Indonesia
Boleh dong Fen, kasih rekomendasi buku2 sastra horor yang bisa kubaca, anyway thanks ya buat ulasannya, menarik si :)
Padahal, sepertinya baca sastra horror lebih imajinatif dan terasa di jiwa.
Saya malah sebelumnya ga kepikiran mengenai sastra horror ini. Karena memang industri "hantu" itu sangat gacor, terutama di tempat kita.
Aku pun kalo nonton film horor pun lbh ke nggak takut sebenarnya. Tp kaget krn teriakan org lain yg nonton. Lha itu kan filmnya biasa aja. Cmn yg nonton yg ngagetin. Wkwk
Tapi memang kalau kita ada semacam keterkaitan cerita dan tempat, horornya jadi makin terasa.
Tapi akhir-akhir ini memang kualitas film horor Indonesia sudah semakin bagus sih. Demikian cerita-cerita novel horor yang beredar. Jadi makin suka deh
Cerita horor Indonesia yang saya suka adalah yang bisa mengangkat kisah urban legend di Indonesia seperti Kuyang, Desa Penari, Mangkujiwo, dan Rumah Kentang. Vibe horornya lebih kuat dan jadi punya banyak
Kalau dari film, banyak juga film-film horor yang terinspirasi dari kejadian nyata atau sebagai bentuk protes sosial budaya, bukan sebatas hantu/mitos lokal.
Tapi aku setuju kak sama tulisan ini. Kenapa sih film horor lokal selalu mengandung muatan sensualitas? Padahal kalo mengangkat nilai mistis dan budaya lokal asli, terus dikemas dengan menarik, sudah bagus lo ya. Apakah karena tuntutan pasar? Kalo nggak seksi nggak laku begitu? Kayaknya enggak juga ya..
Aku baca horor lumayan suka kok
Tegang tapi seru
Tapi selama itu bisa menimbulkan kebaikan dan daya imajinatif, maka karya sastra horor layak untuk dinikmati.
Buku2 horor pun blm ada yg aku baca sampe bener2 ngerasa serem. Yg lumayan ada, tp yg bikin aku sampe ketakutan ga ada. Beda ama thriller misteri, itu banyaaak. Padahal kalo denger cerita langsung, ttg mitos2 suatu tempat, kok malah lebih serem itu drpd saat udh ditulis ke dalam buku.