Dunia anak-anak adalah mengenyam pendidikan, belajar dan bermain. Mereka tertawa, berlari dan saling kejar mengejar bersama temannya. Tumbuh dan berkembang dengan kasih sayang dari keluarganya. Momen bagi mereka merancang cita-cita sebagai peta masa depan. Belum waktunya bagi anak-anak memikirkan tugas rumah tangga. Beban seberat itu, belum kuat untuk dipikul di pundak mereka. Raga dan mental yang belum tangguh menghadapi tantangan kehidupan suami-isteri.
Batas Minimal Usia untuk Menikah Menurut Undang-Undang
Banyak persepsi yang timbul tentang pernikahan. Bila ada seseorang yang mencapai atau lebih dari 27 tahun, mulailah pertanyaan “Kapan Nikah?” berdatangan. Pemikiran untuk orang yang belum menikah di usia yang dianggap matang, langsung mendapat label “bujang lapuk” atau “perawan tua”.
Mirisnya, berbanding terbalik dengan terjadinya pernikahan di usia dini. Anak-anak dan remaja yang seharusnya sedang menikmati masa muda mereka, penuh semangat memiliki impian yang akan diwujudkan, malah harus menjalani pernikahan dini, meski dengan dispensasi.
Bila mengacu pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, batas minimal usia untuk menikah yaitu 19 tahun, baik untuk laki-laki maupun perempuan.
Usia 19 tahun dikategorikan sebagai usia dewasa. Bukan lagi anak-anak maupun remaja. Fisik dan psikis yang sudah lebih baik dalam berpikir, bertindak, dan dapat mengontrol emosi. Meski begitu, adanya permohonan dispensasi pernikahan, seakan menjadi celah untuk melenggangkan pernikahan dini. Oleh karena itu, perlunya menggalakkan edukasi dan sosialisasi secara masif tentang kesehatan remaja dan akibat buruk pernikahan di usia belia.
Dampak Negatif dari Pernikahan Usia Dini
Pernikahan usia dini adalah berlangsungnya pernikahan dibawah ketentuan usia yang berlaku. Anggapan daripada berzina, takut mendapat label perawan tua/bujang lapuk, kondisi ekonomi keluarga, stigma negatif terhadap anak perempuan yang dianggap beban keluarga, pergaulan bebas, perjodohan, orangtua yang tidak memahami bagaimana masa depan anaknya kelak, hingga tradisi masyarakat setempat menjadi faktor yang melatarbelakangi terjadinya pernikahan dini.
Hanya saja, kurangnya perhatian para pihak terkait atas pengaruh yang terjadi pasca pernikahan dini. Dari sisi sosial dan ekonomi, remaja yang seharusnya sedang bersemangat meningkatkan studinya, harus terhenti karena berubah status menjadi orangtua baru. Tuntutan pun bertubi-tubi demi menghidupi anak dan isteri, tentunya dapat memberatkan kehidupannya dalam hidup sosial bermasyarakat, bahkan berpotensi timbulnya tindak kriminalitas.
Bila melihat dari sisi psikis, masa remaja adalah momen pubertas dan masa pencarian jati diri. Mental yang belum stabil dapat berpengaruh pada kehidupan suami-isteri, mental illness, hingga risiko terjadinya perceraian di usia muda dan kekerasan dalam rumah tangga.
Sedangkan dari segi kesehatan fisik, bagi perempuan yang melakukan pernikahan di usia dini, kondisi rahim yang belum kuat berisiko anak akan lahir prematur atau mengalami kelainan. Belum lagi ancaman risiko kesehatan lainnya seperti terganggunya kesehatan reproduksi, kanker serviks dan mengalami kekerasan secara fisik maupun seksual.
Maka, siapakah yang menderita?
Anak-anak dan perempuan yang akan menjadi korbannya.
Lalu bagaimana nasib anak yang terlahir dari orangtua yang masih belia usianya? Adakah yang memikirkan bagaimana masa depannya kelak?
Tanpa disadari, pernikahan usia dini adalah penyakit sosial yang menggerogoti secara perlahan. Mengakar dan menjalar lebih dalam hingga membentuk cabang-cabang baru. Bila terus terjadi pembiaran, akan menjadi mata rantai yang sulit untuk diputus.
Langkah-langkah untuk Cegah Pernikahan Dini
Langkah mencegah pernikahan usia dini bisa kita lakukan bersama. Hal ini mengacu kepada Undang Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014, terdapat dua pasal yaitu Pasal 22 dan 26 ayat 1 yang berisi bahwa kewajiban bagi pemerintah, pemerintah daerah, orangtua dan masyarakat untuk berupaya dalam perlindungan anak dan pencegahan Perkawinan Usia Anak.
Semua pihak berperan dalam memberikan kontribusi positif cegah pernikahan dini, dengan cara:
- Melibatkan orangtua (keluarga) dalam edukasi pencegahan pernikahan dini, misalnya dengan quality time, menciptakan lingkungan yang baik di dalam dan di luar rumah, mendukung anak dalam mengejar pendidikan serta meningkatkan kompetensi diri.
- Peran pemerintah dan lembaga terkait seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Kementerian Agama, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan Puskesmas, bisa dalam bentuk memberikan program dan kebijakan, edukasi, konseling, dan sosialisasi untuk mencegah terjadinya pernikahan usia anak.
- Mengadakan penyuluhan tentang hal apa saja yang menjadi hak-hak anak, khususnya hak kesehatan, pendidikan, dan perlindungan dari kekerasan dan eksploitasi.
- Mengedukasi masyarakat sebagai garda terdekat dengan lingkungan tinggal si anak, tentang apa saja konsekuensi buruk dari pernikahan usia anak dan dampak negatif pergaulan bebas.
Memang, data saat ini menunjukkan penurunan angka pernikahan usia dini. Namun, bukan berarti antisipasi akan berhenti begitu saja. Pasalnya, kasus ini seperti fenomena gunung es yang seakan melandai di bagian atas, padahal membesar di bagian bawah.
Angka pernikahan usia dini masih tinggi di 3 provinsi di Indonesia yaitu Nusa Tenggara Barat dengan persentase 17,32%, Sumatera Selatan dengan 11,41%, lalu Kalimantan Barat di peringkat ke-tiga dengan persentase 11,29%.
Sedangkan jumlah perkawinan menurut usia kurang dari 18 tahun di Kalimantan Barat, terbanyak adalah di Ketapang yaitu 2.163 anak, Landak yaitu 1.445 anak, dan Sintang 1.113 anak.
Kondisi generasi penerus bangsa, harus dijaga dan diselamatkan. Hal inilah yang menjadi perhatian khusus pemuda asal kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, Nordianto Hartoyo Sanan, dengan mendirikan GenRengers Educamp pada tahun 2016. Ia pernah tercengang ketika duduk di bangku SMP, yaitu satu per satu temannya tidak kembali menempuh pendidikan di sekolah, karena sudah berubah status menjadi orangtua baru.
“Banyak orangtua yang menganggap pernikahan dini adalah hal yang wajar, dan tidak menganggapnya sebagai penyakit sosial.” Kata Nordianto Hartoyo Sanan pada talkshow Kick Andy – Selamatkan Anak Indonesia, saat menanggapi pertanyaan mengapa terjadi pernikahan usia dini di lingkungannya.
GenRengers Educamp di Tangan Pemuda Bernama Nordianto
Pemuda yang akrab disapa Anto ini, membangun program GenRengers Educamp, sebagai wadah edukasi dan penyuluhan bagi remaja tentang kesehatan, pergaulan remaja, pernikahan dini, dan memberi kesempatan kepada para remaja untuk belajar lebih banyak tentang diri mereka sendiri.
Dengan mengusung konsep outbound, GenRengers Educamp menyediakan beragam kegiatan seperti pelatihan kepemimpinan, fun games, pendampingan, dan entrepreneur yang dapat menjadi bekal mereka sebagai pengusaha. Dari sini juga, lahir relawan-relawan yang memiliki potensi di wilayah mereka masing-masing menjadi local champion.
Berada di bawah naungan Generasi Berencana Indonesia, GenRengers Educamp telah menjangkau ke seluruh daerah di Kalimantan Barat, dengan target usia remaja 14 hingga 23 tahun, meski ada dari yang berusia 10 tahun datang untuk bergabung. Kegiatan ini juga telah diadopsi di berbagai provinsi. Dampak positifnya untuk para remaja tak hanya bisa mendapatkan pendidikan seks secara tepat, tetapi juga dapat mengembangkan diri dan mewujudkan cita-cita tanpa terjerumus pergaulan bebas dan pernikahan dini.
Anto bersama timnya melakukan edukasi cegah pernikahan dini, mulai dari pinggir kota sampai ke desa-desa di Kalimantan Barat. Walau menghadapi rintangan lokasi yang sulit dijangkau dan penerimaan masyarakat sekitar yang kurang bersahabat, tetapi kegiatannya ini mendapat sambutan dari positif dari BKKBN Provinsi Kalimantan Barat, sehingga perjuangan pemuda kelahiran tahun 1994 ini dapat terus berlanjut.
Dukungan dari BKKBN pun berkelanjutan, dengan kehadiran program Pusat Informasi dan Konseling Remaja. Generasi muda yang mengikuti ini, bisa mendapatkan pengetahuan lebih banyak terkait kesehatan dan hak-hak reproduksi seksual. Kehadiran Program Pusat Informasi dan Konseling Remaja dinilai Anto berhasil, dalam menurunkan angka perkawinan usia anak dan kehamilan yang tidak diinginkan pada remaja.
“Program ini menggunakan pendekatan yang ramah remaja, dengan bekerja sama dengan sekolah-sekolah melalui ekstrakurikuler, komunitas keagamaan remaja, dan juga kelompok-kelompok pemuda setempat.” Terang Nordianto melalui channel Youtube miliknya.
Sosok Inspiratif bagi Nordianto yang menjadi Penguat Langkahnya
Setiap langkah seorang pria, pasti ada sosok wanita hebat yang menginspirasinya. Begitupun dengan Anto, dukungan dari sang ibu menjadi penyemangatnya untuk menekan angka pernikahan usia dini.
“Mungkin Mamak hanya punya mimpi yang besar, tapi mamak tidak bisa mendapatkan mimpi mamak. Makanya mamak mau kalian harus bisa lebih dari Mamak”. Ucap Nordianto Hartoyo Sanan pada talkshow Kick Andy – Selamatkan Anak Indonesia.
Pengalaman hidup ibunda Anto yang menikah di usia dini, berakibat pada masalah pada sistem reproduksi dan harus menajalani operasi angkat rahim. Pil pahit tersebut, membuat pemuda asli kabupaten Kubu Raya ini berupaya keras, agar tidak ada lagi anak-anak maupun remaja yang mengalami permasalahan serupa.
“Bukan hanya perempuan yang harus berjuang dalam perkawinan usia anak, tetapi juga laki-laki. Perempuan adalah calon ibu bangsa, maka perlunya laki-laki melindungi harkat dan martabat perempuan. Laki-laki juga harus memiliki pemahaman dan edukasi konsep hidup yang baik, karena ia bercermin pada ibu atau saudara perempuannya.” Kata Nordianto Hartoyo Sanan pada talkshow Kick Andy, saat menanggapi pertanyaan mengapa ia harus sibuk mencegah pernikahan usia dini.
Semangat Nordianto untuk Masa Depan Generasi Muda
Kiprah Anto untuk program GenRengers Educamp ini, membawanya lebih luas menyuarakan isu pernikahan usia dini ke beberapa negara. Pemuda yang pernah menjabat sebagai Presiden Generasi Berencana Indonesia periode tahun 2016 – 2020 ini, pernah menjadi perwakilan Asia-Pacific pada ajang Indigenous People Youth Conference di Rio de Janeiro Brasil. Bahkan pernah mengikuti program Union European sebagai tenaga pengajar (volunteer) Cross Cultural Understanding di Polandia.
Tak sampai di situ, peran krusial Anto dalam menekan pernikahan dini ini, mengantarkannya pada penghargaan SATU (Semangat Astra Terpadu Untuk) Indonesia Awards tahun 2018, untuk kategori Kesehatan dengan kegiatan “Menekan Pernikahan Dini, Melahirkan Relawan”. Apresiasi ini diberikan oleh PT Astra Internasional Tbk kepada generasi muda yang memberikan kontribusi positif untuk Indonesia melalui karya dan berkelanjutan.
Semangat Nordianto Hatoyo Sanan, dapat menjadi teladan yang bisa diterapkan di berbagai tempat. Inovasinya juga menjadi bukti, bahwa perlu orang-orang yang peduli memikirkan nasib generasi penerus bangsa ini. Sebab, anak-anak dan remaja adalah puncak generasi. Bila tidak ada seseorang yang berdedikasi untuk mengatasi hal ini, tentunya masa depan generasi bangsa bisa mengalami degradasi.
Sumber:
- https://pifa.co.id/berita/kalbar-peringkat-ke-3-pernikahan-dini-se-indonesia-tertinggi-di-ketapang
- https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/1001/kenali-dampak-pernikahan-dini
- https://kampungkb.bkkbn.go.id/kampung/12121/intervensi/771160/cegah-pernikahan-dini-melalui-sosialisasi-pencegahan-pernikahan-usia-anak
- https://www.kemenpppa.go.id/
- https://data.kalbarprov.go.id/
- Channel Youtube Kick Andy
- Channel Youtube Satu Indonesia
- Channel Youtube Nordianto Hartoyo Sanan
19 komentar
Pdahal ada banyak alasan ya, seperti mental sudah siap kah untuk menjalani pernikahan? Dari segi kesehatan si calon ibu, apakah rahimnya sudah kuat ? Dan banyak lagi yang harus diinformasikan ke masyarakat luas agar lebih paham.
Memang tdk bisa dipungkiri angka pernikahan dini masih tinggi di negara kita terutama di daerah terpencil yang minim pendidikan sehingga sudah sepantasnya Astra mengapresiaki perjuangan beliau
Baru tahu minimal usia nikah 19 tahun, hik aku kok kurang setuju ya, itu terlalu mudapun, bukannya lebih baik minimal 25 tahun yak.
sangat menginspirasi, karena ini dibutuhkan oleh seluruh masyarakat Indonesia.
walau sayangnya belakangan ini ada ajaaaa seleb Tiktok yg malah dgn sengaja promote pernikahan dini, huhuhuhu
Aku sendiri ngajarin anak2 utk mengutamakan belajar mba. Sampe aku pernah bilang, belajar setinggi2nya, pikirin masa depan, dan ga usah kuatir ga bisa nikah. Itu bukan sesuatu yg penting banget buat dikejar. Punya anak pun bukan sesuatu yg mudah skr ini. Better mereka ga punya drpd ga mampu memberikan kehidupan yg cukup kepada anak. Aku tekanin banget soal itu.
Krn aku sendiri juga mentingin masa depan sendiri drpd terlibat dalam pernikahan ga beres. Stress iya yg ada. Boro2 bisa happy .
So aku mau anak2ku juga gitu. Aku ga bakal ribut kalo mereka ga nikah. Yg aku ributin kalo mereka ga bisa membiayai diri sendiri .
Padahal, usia matang dan mental siap jauh lebih penting buat menghadapi pernikahan. Pernikahan dini ini sangat menimbulkan banyak permasalahan kedepannya. Salut sama langkah beliau dan memang sangat pantas mendapatkan apresiasi.
Serius sih aku mah paling setuju sama quotes ini "Jangan menikah dengan orang yang tepat, tapi menikahlah saat waktunya tepat".
Mesti banyak pertimbangan, biar rantai huru hara ini bisa diputus
Menikah itu memang ibadah, sunnahnya disegerakan JIKA ADA JODOHNYA, dan bukan DIJODOHKAN apalagi DIPAKSA BERJODOH. Ahh... susahnyaaa mmg mengedukasi ini, bahkan nggak cuma di kampung-kampung sekarang tapi juga di kalangan selebgram di medsos juga begitu.
Mencegah pernikahan dini itu penting, sebab bisa jadi salah satu faktor penyumbang stunting ya
bahkan sekarang aja, di daerahku masih dengan mudahnya ditemui anak lulusan SMP yang disuruh nikah sama orang tuanya, aku sampe heran. Kenapa orang tuanya malah menyuruh anaknya nikah.
Kalau orang desa di tempatku berpikiran, kalau si anak udah menikah, rasanya beban orang tua untuk menyekolahkan anaknya jadi berkurang gitu
Ternyata pernikahan dini bukan hanya belum siap dari sisi mental, tapi juga fisiknya. Rasanya kasian kalau ada anak yang ngebet nikah di usia masih kecil ditambah lagi dukungan dari pihak keluarga dengan dalih "Daripada zina".
Aku beneran khawatir banget ketika pemahaman ayat tidak disertai dengan ilmu pendukung lainnya. Seolah-olah itu mutlak.
Jadi sangat mendukung sekali dengan mas Nordianto yang mengedukasi masyarakat serta memberikan pandangan-pandangan positif mengenai aktivitas bermanfaat anak muda yang bisa ditekuni.
Menikah dini memang baik di satu sisi, mencegah terjadinya dosa karena syahwat tak tertahankan
Namun, menikah bukan hanya untuk melampiaskan itu saja
Perjalanan panjang pernikahan itu sungguh berat kalau dijalankan hanya sekadar ikut-ikutan
Salut dengan GenRangers Educamp karena membuat banyak kegiatan bermanfaat sehingga mengurangi angka pernikahan dini.
Rata-rata lulusan dari pesantren, malah belakangan ada yang usia 17 tahun nikah. Hiks..
Mudah-mudahan Mas Nordianto ini bisa menjangkau sampai ke pesantren di seluruh Indonesia, agar para santri makin melek kalau pernikahan dini itu membawa dampak yang kurang baik terutama untuk perempuan